Jumat, 16 Oktober 2009

POTRET HIDUP "PAK TUA"

"Andai mentari baru terbit,
ingin kuayunkan langkah lebih cepat
mengejar ramainya kotaku.
Apa dayaku..."

: Potret hidup



JKT, edit 16102009
its me
damai dalam cinta itu indah
love, febi
READ MORE - POTRET HIDUP "PAK TUA"

Minggu, 27 September 2009

"Empat April Dua Ribu Sembilan"

Bengkak sudah mataku kini
Air mata darah yang kuperas
Tak ’kan kering menangisimu
Dalam duka yang teramat dalam

Kenangan buruk itu tak ingin kukenang
Tapi, semua terpampang nyata lagi di depanku
Aku tak bisa berpaling walau hanya sekejap
’Tuk sekedar menghapus air mataku

Resah dan galauku semakin nyata
Adakah keadilan untukku
Apakah semua yang Kau beri untukku
Akan Kau ambil begitu saja

Jangan
Cukup sudah
Tak sanggup ku menanggung semua derita hancurnya hati
Tak kuasa ku menahan segala duka binasanya jiwa

Tuhan
Izinkan aku dan sahabatku
Disini, menikmati pemberian Mu
Jangan Kau pisahkan aku dengannya
Seperti yang pernah Kau lakukan dulu
Padaku, tanpa basa basi

Tuhan
Masih banyak cita yang belum terwujud
Jangan hentikan asa yang berbintang
Izinkan aku menikmati semua
Dalam dekapan hangat sahabat

”Untukmu wahai sahabat”
Demi cita yang tertunda


Jakarta 04042009
"Mengenangnya 04041997"
damai dalam cinta itu indah
love, febi
READ MORE - "Empat April Dua Ribu Sembilan"

Tawanan Cinta

Cintaku telah tertawan dalam cawan petri
Terbelenggu dan terkungkung melara
Tanpa tangis..., tanpa isak...
Tatap nanar bermandi darah

Telah ku bangun kubangan darah
Tenggelam aku dalam asa yang merasai
Menganyir dalam kutukan iblis
Terhanyut..., bermuara di lautan binasa

Sendiri aku tak kuasa berlari
Mengejar cita di seberang lautan
Mengikis lara, mengubur duka
Mencibir setan, mencarut hampa

Diam
Tersapu badai
Hening
Terhempas gelombang



jkt, 13.50 12042009
###
damai dalam cinta itu indah
love, febi

READ MORE - Tawanan Cinta

Rabu, 23 September 2009

CERITA KU

CERITA KU




”Fen, melamun ya? Ngapain duduk sendirian disini?” Suara lembut itu menghampiriku. Sedikit teperanjat aku mendengar sapaannya yang tiba-tiba. Perlahan didekatinya aku yang sedang menyendiri di beranda, menemaniku duduk di undakan tangga teratas.


Aku hanya diam tak menjawab, hembuskan nafas yang kurasakan sangat berat menghimpit dada, membuang jauh pandangan ke arah jalan di samping, memeluk tangan. Dipegangnya pundakku yang sedikit melorot, seakan mendapatkan ketakberesan hatiku.


Sore itu langit dengan warna merah saga, aku termenung sendiri, dagu bertelekan tangan kanan sekenanya. Hatiku sangat resah, dada yang sesak membuat nafasku tak beraturan. Ku tatap nanar taman di kejauhan, mengembarakan pikiranku yang galau


”Fen, ada apa? Kok cuma diam, nggak menjawab pertanyaanku?” Perlahan, ditariknya dengan lembut daguku yang bersungut menjauh


Ku tepis tangannya, sambil menghelakan nafas panjang dengan malas ku tolehkan pandangan sebentar ke arahnya, lalu ku buang lagi pandangan resah ini, jauh menembus keremangan senja. Penasaran dengan apa yang terjadi, dia pindah menuruni beberapa undakan anak tangga agar bisa menatap ku berhadapan dengan leluasa.


Diraihnya wajahku dengan kedua tangannya yang masih menebarkan wangi handbody. Parfumnya yang lembut tercium olehku, terpejam mataku menikmati wewangiannya, terhanyut sesaat aku dalam sensasi aroma yang diciptakannya, nafasnya tertalu dekat denganku, bisa kurasakan hembusan nafasnya yang teratur menerpa lembut wajahku. Campuran wewangian yang dikenakannya berputar sebentar memenuhi otakku, sedikit membuat nyaman hatiku yang resah.


Tapi, tepukan lembut di pipi kiriku membuat aku tersadar dalam lamunan sesaatku. Sahabatku tak ingin menunggu lama, perlahan mata kubuka malas. Kami pun beradu pandang, tak bisa ku hindari tatapan penuh tanya itu. Tatapan matanya yang teduh, lembut menjelajahi bola mataku, menembus pikiranku, tegas, menanti jawaban dariku, menusuk langsung ke jantungku yang mengoyak. Tak terasa tatapan penuh tanya itu mengembangkan pelupuk mataku. Aku hanya tertunduk dalam diam, sambil menatap ujung jemari kakiku yang memainkan sandal, menghalau gelisah yang semakin menggerayangi hatiku.


Tak kuasa aku menahan semua himpitan beban yang bergolak, mengaduk-aduk relung batinku yang merasai. Mata yang sedari tadi telah mendung berat, sekarang seakan tak kuat lagi ku bendung, meledaklah semua, menumpahkan segala yang menyesak, berguncang bahu yang telah melorot seinci dan semakin melorot lagi setengah inci.


Terdengar jelas di telingaku, desahan nafasnya yang sedikit tercengang. Perlahan kembali dia mendekati ku, merangkul tubuhku dalam dekapan hangatnya, membisikkan kata-kata yang menentramkan hatiku, sambil menggenggam erat tanganku. Dibiarkannya aku menumpahkan segala himpitan ini, hingga puas dalam kubangan air mata yang telah tertahan dari kemarin. Segala sesak dan derita yang menghimpit, ku tumpahkan dalam pelukannya. Lama isak perih melesak dari dadaku yang hampir pecah, berkutat resah yang menggelegak, terus merinai memuaskan lara yang mendera sukma. Setelah ku tumpahkan semua derita yang mendera dan menyesak di ulu hati, perlahan, berangsur kuat hatiku untuk menceritakan keresahan ini pada sahabatku


”Dia telah pergi. Kemarin Ibunya memberi kabar.” Perlahan dan terbata aku menceritakannya satu persatu


Serasa hancur hatiku mengucapkan kata demi kata di depannya. Sakit yang memilukan, mengutarakan apa yang telah terjadi. Luluh lantak sudah jiwa dan ragaku, seakan kosong mengembara bersama ruh-ruh di alam baka. Pikiranku terlalu gamang saat itu. Perlahan dinginnya malam menjalar kuasai sekujur tubuh, sedikit menggigil tubuhku yang ringkih diterpa dinginnya hembusan angin malam. Ku peluk rapat kedua tanganku, mengusir lara, ku tatap bintang di langit, ku atur nafasku, agar bisa melanjutkan ceritaku.


”Padahal, kau tau sendiri beberapa jam sebelumnya. Dia begitu ceria, seolah tak ada sakit yang dirasakan.” Perlahan tubuhku pun mulai bergetar lagi.


Tertumpah lagi isak tangis yang tadi sempat tertahan. Terus mengalir bak air bah yang jebol tanggulnya. Menggetarkan seluruh jiwa dan raga.


Sahabatku menyembunyikan rasa terkejutnya dengan menggenggam tanganku yang semakin dingin bersama naiknya malam. Mata yang belum lagi mengering, terus mengucurkan air mata kehancuran. Hati yang belum lagi sembuh terasa sangat menyesakkan dada, menyakitkan batin yang perih dan kian tercabik hancur.


”Maafkan aku, Fen. Aku nggak tau. Kenapa kau pendam ini sendiri? Kenapa tidak kau bagi dengan ku?” Sambil merangkul pundakku, dengan lembut dipijatnya bahuku yang sudah sedari tadi melunglai, memberikan kekuatan untukku.


Lama aku terisak tumpahkan segala sesak yang menyelimuti hatiku yang mengosong. Tak henti sahabat terbaikku meluncurkan kata-kata penyejuk untukku. Menemaniku, memberikan dorongan bagi semangatku yang memudar.


”Sudahlah. Relakanlah semua yang telah terjadi.” Dengan nada suara lembut, walau terdengar agak sedikit tercekat dan belum bisa memberikan keyakinan akan kerelaan padaku.


Aku tahu, sahabatku terguncang, sama hebatnya dengan apa yang kurasa. Karena, David adalah sahabatnya sedari kecil. Teman sepermainannya, yang dikenalkannya padaku tiga tahun lalu. Karena Henny, aku dan David memadu kasih, berikrar sumpah setia hingga tahun lalu, saat dokter di Beijing memvonis rasa sakit kepalanya yang menahun dan memutuskan untuk mengangkat tumor itu dari kepalanya. Pada operasi ketiga inilah, hatiku terhempas, hancur.


***


”Woi... Aku mau ke Jakarta sabtu ini. Kamu nggak boleh ada acara. Aku langsung dari rumah, nggak pake mampir ke slipi, meluncur menuju pancoran. Ingat, Fen, kalo terlanjur ada acara, batalkan semua! Batalkan!” Dengan semangat yang menggebu Henny menyampaikan keinginannya padaku melalui telepon selularku.


Aku yang tidak mendapatkan kesempatan berbicara hanya diam melongo seperti layaknya sapi ompong. Tak berapa lama, ponsel ku sudah terdengar suara tut...tut...tut... Sambungan teleponpun sudah terputus. Aku hanya diam terpaku, seakan terhipnotis dengan apa yang baru saja terjadi. Saat tersadar, ku abaikan saja hasil percakapan yang sangat singkat itu dan segera melupakan kejadian singkat barusan.


***


Sabtu sore, saat menikmati musik di compact disk-ku, dari bawah, terdengar teriakan yang melengking, suara yang sangat kukenal. Tanpa menunggu teriakan berikutnya, aku segera meninggalkan kamarku yang masih acak-acakan, buku yang berserakan, kepingan CD yang berhamburan, dan boneka-boneka kecil yang berjumpalitan.


”Heeeeennyyyyyyy...!” Aku segera berlari menuruni tangga melompati dua anak tangga sekaligus, tak mempedulikan bunda yang tersenyum kecil melihat ulah konyolku dan teriakan heboh dua sahabat yang sudah lama tak bersua.


”Ok, girl... Sesuai janjiku dua hari lalu. I’m comming...!” Merentangkan kedua tangannya menyambut kedatanganku yang terburu-buru lari dari arah tangga.


Kami saling berpelukan melepas rindu, tertawa cekikikan, lalu ku tarik paksa tangan Henny menuju arah kamarku. Tapi, tarikan paksaku terhenti. Henny menarik tanganku kembali. Aku pun menoleh berbalik memutar badan, tiba-tiba aku melihat sosok lain agak jauh di belakang Henny. Seorang bocah laki-laki, tersipu malu sambil cengengesan melihat ulahku barusan. Sadar aku bahwasanya ada manusia lain yang belumku kenal, aku menggamit lengan Henny tanpa melepaskan tatapan penasaran ke arahnya.


”Fenty sayang, kenalkan, ini David, sahabatku dari kecil. Walau masih muda, tapi dia berfikiran dewasa, malah melebihi pemikiran kamu yang sangat childish.” Menarik tanganku menuju sang bocah imut.


Dengan gayanya yang tetap malu-malu, mengulurkan tangannya memperkenalkan diri, ”David. Senang bisa bertemu Fenty secara langsung. Bukan hanya dari cerita Henny.”


”Uik! Hen, kamu suka gosipin aku ya? Awas kamu ya.” Menyambut uluran tangannya dengan suka cita, melirik sambil mengancam Henny. ”Semoga Henny nggak ngomong yang aneh-aneh tentang aku.” Mengedipkan mata kananku ke arahnya.


***


”Fen, aku sayang kamu.” Bibir tipisnya mengembangkan seberkas senyum yang sangat indah.


David merangkul bahuku merapatkan tubuhnya padaku. Ku lirik mata coklatnya yang indah, senyumkupun mengembang dan kusambut rangkulannya dengan membelai lengannya yang melingkar di bahuku.


”Aku tahu, Vid. Tanpa kata-kata gombalmu aku bisa merasakannya dan akupun bisa melihat hatimu. Selalu ada aku dan hanya ada aku di setiap biliknya.” Tawa kecilku yang tertahan pun keluar dari mulutku yang mungil, ku kedip-kedipkan kedua mataku menggoda kekasihku.


”Hahahaha!” Tawa keras itu lepas begitu saja dari mulut David. ”Duh, yang gombal.” David tertawa lagi, mendorongkan bahunya ke bahuku, sambil menggodaku dengan kedipan matanya.


Aku hanya tersipu melihat perlakuannya padaku. Tak sadar aku barusan melontarkan kata-kata gombal. Darah mendesir di hatiku, malu campur suka. Akhirnya akupun tertawa lepas, mengikuti tawa David yang tidak berhenti menggodaku.


”Udah ah, Vid. Capek pipiku. Ketawa terus.” Ku pijit mukaku yang pegal karena tertawa terlalu lama.


David terbatuk dan menghentikan tawanya. Aku tersenyum melihat tingkah lakunya.


”Makan, yuk, Fen. Aku udah lapar. Kamu tadi juga belum makan, kan?” Tanganku ditariknya menuju kantin pusat, tanpa menunggu persetujuan dariku.


***


Kenangan itu terus berputar-putar di dalam otak kecilku, menari-nari dalam hati sanubariku. Aku hanya terdiam tanpa kata. Semua kejadian ini begitu cepat, hingga mengelukan lidahku dan membekukan otakku. Aku merasakan semakin sesak di dada dan panas di mata yang seolah tak mau meninggalkan ragaku yang hampir binasa. Mataku yang redup, mulutku yang mengatup rapat, fikiranku melayang, dalam hati ku berkata, ”Bukan kalian yang mengalaminya. Kalian tak bisa rasakan betapa hancurnya aku.”


Ku tumpahkan semua resahku dalam tangis tanpa suara, hanya nafasku yang berat terdengar berkali-kali. Dibiarkannya hatiku terpuaskan dalam kegalaun peperangan bathin yang dahsyat mengguncangku. Dia membelai rambutku dengan lembut, memeluk pundakku yang sangat turun, dan menggenggam tanganku dengan hangat, berulang kali berusaha membangkitkan semangatku yang sangat terhempas.


Tanpa sadar ku gigit bibirku menahan gejolak kemarahan dan keterpurukan akan kepergiannya. Gerahamku beradu, menggeretuk, membuat linu di gigi, menekan sakit di hati. Tak terasa, ada rasa asin dari bibir yang terkecap olahku. Ku seka dengan punggung tangan kanan yag bebas. Dan ku lihat darah disana. Terperanjat Henny melihatnya, meraih tanganku. ”Apa yang kau lakukan Fenty?” Diraihnya wajahku yang kuyu, ”Lihat! Kau menyakiti dirimu! David pasti nggak suka melihat kamu melakukan ini!” Segera berlari ke dalam rumah meninggalkanku yang terdiam.


Setitik air mata mengalir dalam hatiku, mengenangnya. Sedikit perih ku rasakan di bibir bawahku. Tak berapa lama Henny sudah kembali dengan kapas, menyeka darah yang mengalir di bibirku. Henny berusaha tegar di depanku, dengan sigap dia telah membersihkan darah itu sambil menggelengkan kepala menatapku dengan bijaksana, merangkul pundakku.


”Fenty, aku tau kau sangat hancur. Tapi bukan ini yang harus kau lakukan. Kita semua menyayanginya. Aku sangat kehilangan David. Tapi ingat, bagaimana David bisa menguasai rasa sakitnya selama ini. Bagaimana tegarnya David menghadapi segala cobaan yang dialaminya. Bagaimana kuatnya David menghadapi kematiannya kemarin. Semua dilakukan David dengan senyuman. Ya, senyuman. Itulah yang harus kau lakukan.” Membelai wajahku dengan halus sambil menatap mataku yang mulai melunak kelelahan sehabis menangis.


Terlalu lelah jiwa dan ragaku memutar semua kenangan indah dan manis bersama David. Terlalu kelu jiwa dan ragaku merasai kehancuran dahsyat yang baru ku alami. Terlalu larut aku dalam keterpurukan kehilangannya. Aku harus bangkit, ku camkan semua kata-kata yang meluncur layaknya air mengalir dari tebing tinggi menuju terjunan, lancar dari mulut Henny sahabatku. Mengingatnya begitu indah, membayanginya begitu nikmat, akupun tersenyum. Perlahan kelegaan merayapi hatiku, tersadar aku karena kebenaran ucapannya. Aku yang selama ini selalu memendam kesedihanku, padahal aku punya dia, sahabat terbaik ku. Dia disini, bersama ku, memberi ku semangat, memberikan ketentraman. Ku balas dekapan hangatnya, ku buang seluruh gelisahku. Lembut dielusnya punggungku penuh kasih dengan kehangatannya, membisikkan kata damai di telingaku, ”Kau pasti bisa melakukan yang terbaik. Lakukan demi dia.”


Kuhela nafas berat itu, kubuang jauh galauku, kuseka air mata duka, kukubur kesedihan ini, lalu kutangkap senyuman rembulan dan bintang di langit. Sekarang ku kuatkan hati ku, menatap hari esok yang terbentang dan menanti tapakan jejak langkah ku dengan pasti dan teguh. Kekasih ku telah pergi pada Sang Empunya jiwa, tapi ku harus berdiri songsong esok yang cerah, demi cita-citanya yang tertunda.

Buatnya ”Kekasih Hati” dan "Sahabat Tercinta”


Bengkak sudah mataku kini
Air mata darah yang kuperas
Tak ’kan kering menangisimu
Dalam duka yang teramat dalam

Kenangan buruk itu tak ingin kukenang
Tapi, semua terpampang nyata lagi di depanku
Aku tak bisa berpaling walau hanya sekejap
’Tuk sekedar menghapus air mataku

Resah dan galauku semakin nyata
Adakah keadilan untukku
Apakah semua yang Kau beri untukku
Akan Kau ambil begitu saja


Jangan
Cukup sudah
Tak sanggup ku menanggung semua derita hancurnya hati
Tak kuasa ku menahan segala duka binasanya jiwa

Tuhan
Izinkan aku dan sahabatku
Disini, menikmati pemberian Mu
Jangan Kau pisahkan aku dengannya
Seperti yang pernah Kau lakukan dulu
Padaku, tanpa basa basi

Tuhan
Masih banyak cita yang belum terwujud
Jangan hentikan asa yang berbintang
Izinkan aku menikmati semua
Dalam dekapan hangat sahabat

”Untukmu wahai sahabat”
Demi cita yang tertunda


JKT, April 2009

damai dalam cinta itu indah
love, febi



**

READ MORE - CERITA KU

Selasa, 22 September 2009

OMBAK


OMBAK


Ombak berkata
Kepada pasir di pantai
Alangkah tolol dan
Dungunya kau ini


Tidakkah kau punya keinginan
Lari dan menghindar dari kejaranku


Kau hanya diam tak bergeming
Saat ku seret mendekatiku
Menjadikanku tak seluas dan sedalam
Yang telah diberikan Tuhan
Kepadaku


Pasir tetap tak bergeming
Diam tak menjawab
Hanya membisu


Senyum kebanggaan atas kuasaNya
Mengembang diantara sapuan belaian ombak





JKT, edit 17062009
damai dalam cinta itu indah
love, febi
READ MORE - OMBAK